Selasa, 28 April 2015

KONGSI DAGANG PADA MASA KOLONIALISME DAN IMPERIALISME

Kolonialisme dan imperialisme adalah dampak dari perang salib, pada saat Konstantinopel dikuasai oleh pasukan muslim, negara-negara Eropa mulai kehilangan pasar rempah-rempahnya, dan mengharuskan mereka mencari pasar baru. Tidak hanya mencari pasar, tapi mereka juga mencari tempat produksinya agar mendapat harga lebih murah. Karena harga paling murah adalah gratis, mereka mencari cara agar mendapatkannya secara gratis, yaitu dengan kolonialisme dan imperialisme.

Banyak sekali kerugian yang telah terjadi kepada negara yang dijajah, seperti terkurasnya kekayaan alam untuk penguasa kolonial, perbudakan rakyat pribumi, pemaksaan, hak rakyat pribumi teinjak-injak, dan tidak memiliki kebebasan hidup yang layak.

Tetapi tidak hanya hal buruk yang dihasilkan oleh kolonialisme dan imperialisme, tetapi juga ada hal-hal yang menguntungkan seperti dibangunnya jalur-jalur perdagangan, dibangun jalan raya dan rel-rel kereta api, adanya bangunan megah yang menjadi situs bersejarah di saat ini, masuknya ilmu pengetahuan modern, masuknya musik, agama, dan perhiasan.

Untuk menyukseskan kegiatan perdagangan, negara-negara Eropa tersebut membentuk kongsi-kongsi dagang untuk berdagang di Asia Timur dan Tenggara seperti EIC (East India Company) yang dikelola Inggris, CIO (Compagnie des Indes Orientalis) milik Perancis, SOC (Svenska Ostindiska Companiet) yang dipimpin oleh Swedia, CCIO (Companhia do Commercio da ƍndia Oriental) milik Portugis, OK (Ostindisk Kompagni) milik Jerman, dan yang paling lama berada di Indonesia, yaitu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang diperintah langsung oleh kerajaan Belanda.


VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC)

Dalam bahasa Indonesia Kongsi Perdagangan Hindia Timur, didirikan pada tanggal 20 Maret 1602. Merupakan persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Pemberian fasilitas dan hak-hak ini (hak Octrooi) diberikan langsung oleh pemimpin Kerajaan Belanda, Ratu Wilhelmina. Diantaranya misalnya VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara.

Berikut isi hak Octrooi meliputi beberapa poin yaitu :
1. Hak monopoli perdagangan,
2. Hak mencetak uang sendiri,
3. Hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Nusantara, 
4. Hak memiliki tentara atau angkatan perang sendiri,
5. Hak untuk mengumumkan perang,
6. Hak membentuk pemerintahan sendiri,
7. Hak sebagai wakil kerajaan Belanda di Indonesia,
8. Hak untuk menarik pajak, dan
9. Hak menjalankan kekuasaan kehakiman.



VOC di Indonesia


  • Pieter Both
Gubernur pertama VOC di Indonesia adalah Pieter Both dia berkuasa mulai dari 1610 hingga 1614. Dia ditugaskan untuk membentuk suatu monolopi perdagangan agar seluruh nusantara hanya berdagang pada VOC. Pada masa pemimpinannya, ia mendirikan pos di Banten dan Jakarta serta berhasil membuat perjanjian perdagangan dengan Maluku, dan berhasil menaklukkan Timor sekaligus mengusir Spanyol dari Pulau Tidore.







  •  J.P. Coen
Jan Pieterszoon Coen atau J.P. Coen. Ia dikenal dengan keberhasilannya membuat nama VOC tenar di seluruh Eropa. Dia juga berhasil melaklukkan Jayakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia (Batavieren). Di Belanda, J.P. Coen sangat dikenang, banyak jalan-jalan yang bernama J.P. Coen, sedangkan di Indonesia, ia adalah seorang pemuka kompeni yang sangat kejam.






Disebabkan oleh banyaknya penyimpangan yang dilakukan VOC, VOC pun dibubarkan pada tahun 1799, dan daerah yang dikuasai VOC dipegang langsung oleh Kerajaan Belanda dibawah pimpinan Gubernur-Jenderal.


  • Herman Willem Daendels 
Pada perkembangannya, Belanda berhasil ditaklukkan oleh Perancis. Perancis pun mengutus Gubernur-Jenderal Baru yaitu Meester in de Rechten Herman Willem Daendels. Ia memiliki tugas utama yaitu menjaga pulau Jawa dari masuknya Inggris, karena saat itu Perancis dan Belanda sedang berperang melawan Inggris.

Ia membentuk pasukan yang awalnya berjumlah 3.000 menjadi 20.000, ia juga membentuk pabrik senjata di Gresik, serta membangun pusat pelayaran di Surabaya. Rakyat Indonesia mengenal dia sebagai orang jahat yang menetuskan kerja rodi pembuatan jalan pos Anyer-Panarukan.


Ribuan rakyat Indonesia sengsara, pada saat kerja paksa tersebut. Banyak busung lapar, banyak yang meninggal, karena harus membangun jalan yang panjangnya 1000Km, hanya dengan menggunakan cangkul saja. Pada saat Inggris datang, rakyat Indonesia pun membelot dan mendukung Inggris untuk menjatuhkan Daendels.



  • Thomas Stamford Raffles
Pada akhirnya, Perancis yang berada di Belanda pun kalah atas Inggris. Inggris mengambil alih daerah kekuasaan Belanda, dan mengirimkan Sir Thomas Stamford Bingley Raffles ke Indonesia.

Pada masa pemerintahannya, ia mengembangkan Imperialisme yang berdasarkan paham liberal sehingga perbudakan dihapuskan, dan banyak terjadi perkembangan di bidang iptek dan sosial. Kebijakan yang diambil Raffles adalah Land Rente atau sistem sewa tanah.

Pada akhirnya, Inggris juga kalah dan melakukan perjanjian dengan Belanda untuk mengembalikan daerah jajahan Belanda.



  • Van den Bosch
Van den Bosch dikirim ke Indonesia dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari Indonesia, karena kas negara sudah kosong, bahkan devisit. Jadi ia memberlakukan suatu sistem yang dapat meningkatkan pendapatan negara, yaitu dengan sistem kultivasi atau culturstelsel. Dengan dijalankannya culturstelsel, pendapatan Belanda meningkat enam kali lipat.

Pada penerapannya, sistem ini memaksa rakyat pribumi untuk menanam tanaman yang harganya mahal di pasar Eropa, sehingga rakyat Indonesia tidak memiliki lahan yang cukup untuk menanam makanan pokok mereka yaitu padi.


Pada perkembangannya culturstelsel mendapat kritik dari Wolter Robert baron van Hoƫvell. Yang memunculkan kaum-kaum etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. Van Deventer (politikus). Akhirnya, pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van Deventer yang meliputi:
  1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
  2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
  3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.